Friday, February 19, 2010

BERMULANYA DUNIA "RIBA" kegelapan dalam anasir FITNAH

Hindarilah riba, kerana ia bukan membawa kepada keuntungan tetapi membawa kepada kebencanaan.




"Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada ALLAH supaya kamu memperoleh keuntungan".(Al Imran 130)
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahawa Rasullullah SAW bersabda: "Akan datang suatu zaman kepada manusia, mereka memakan riba." Lalu ada yang bertanya. "Apakah semua manusia wahai Rasulullah?" Sabdanya... "Orang yang tidak memakannya namun terkena debunya." 






Hukum Riba Dalam Al-Quran

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba ( yang belum dipungut ) jika kamu orang-orang yang beriman" (Al-Baqarah : 278 )
"Dan sesuatu tiba yang kamu lakukan agar menambah harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keredhaan Allah, maka orang-orang ( yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya) ." (Ar-Rum : 39)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan melipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat kemenangan (sukses) ."  (Al-Imran : 130)
"Orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit jiwa… Dan jika kamu bertaubat ( Daripada pengambilan riba ) maka bagimu pokok hartamu : kamu tidak menganiaya dan tidak ( pula ) dianiaya ."  (Al-Baqarah : 275-279)



Dalam Hadith Qudsi, Allah berfirman bermaksud : 
Dalil 1 
"Wahai hambaKu! Aku mengharamkan kezaliman kepada diriKu dan Aku telah tetapkan sebagai perbuatan haram di tengah kamu. Kerana itu janganlah kamu saling berbuat zalim! ." 
Riwayat Imam Ahmad dan lain-lain, bahawa Rasullullah SAW bersabda : 
Dalil 2 
Riwayat Bukhari dan Muslim daripada Abu Hurairah, Nabi bersabda bermaksud :
"Akan datang suatu zaman kepada manusia, mereka memakan riba." Lalu ada yang bertanya. " Apakah semua manusia wahai Rasullullah ?." Sabdanya. " Orang yang tidak memakannya namun terkena debunya." 
Dalil 3 
Riwayat Bukhari dan Muslim dan lain-lain meriwayatkan daripada Jabir bahawa Rasullullah bersabda bermaksud : "Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan… memakan riba ." 
Dalil 4 
Riwayat Daraqutni daripada Abdullah bin Handullah, bahawa Nabi SAW bersabda bermaksud : "Allah melaknat pemakan riba, pembayarnya, penulisnya dan dua orang saksinya ." 
Dalil 5

" Satu dirham riba dosanya lebih berat daripada dosa orang berzina tiga puluh enam kali ." 
Hukum Riba Dalam Hadith Shahih 

Hadith pertama

Dari Ubadah bin Sha’id, daripada Nabi SAW, sabdanya : " Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kalau sama macamnya dan sama bentuknya ( adalah ) riba. Tapi bila berlainan jenisnya maka lakukanlah jual beli jika kamu menghendakinya selama dengan tunai ." (H.R. Muslim)
Hadith Kedua 
Umar bin Al-Ahwash daripada bapanya meriwayatkan, katanya : " Saya mendengar Rasullullah SAW berpidato pada Haji Wada’ : " Wahai manusia… sesungguhnya darah kamu, harta kamu dan kehormatan kamu haram atas kamu seperti haramnya hari kamu ini di kota kamu ini. Ketahuilah bahawa setiap riba daripada riba Jahiliyah dilarang bagi kamu. Kamu hanya berhak atas modal kamu. Kamu tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dianiaya ." (H.R. Muslim)
Hadith Ketiga

Dari Ubadah bin Yazid, bahawa ia mendengar Ibnu Abbas berkata : " Usamah bin Zaid telah meriwayatkan kepadaku bahawa Nabi SAW bersabda : " Riba hanya pada hutang ." 



alBaqarah 275 381
Allah SWT telah mengharamkan riba di dalam nash al-Quran yang qothi, dan menetapkan riba sebagai sebuah larangan dalam muamalah yang harus dihindari orang setiap muslim. Makalah ini adalah makalah tafsir hukum ayat riba yang membahas penafsiran ayat riba yang dimulai dari makna kata, sebab-sebab turunnya ayat riba, pembagian riba, hukum riba, cara taubat pelaku riba dan hikmah yang terkandung di dalam pengharaman riba.



Artinya: Orang-orang yang memakan riba tidaklah berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kerasukan syetan karena gila. Hal yang demikian itu disebabkan karena mereka mengatakan bahwa jual beli itu seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa yang datang kepadanya peringatan dari Allah. Lalu ia berhenti maka baginya adalah apa yang telah berlalu dan urusannya adalah kepada Allah dan barang siapa yang kembali lagi, maka mereka adalah penghuni neraka yang kekal di dalamnya. Allah akan menghapus riba dan melipat gandakan sedekah dan Allah tidak suka kepada orang-orang kafir lagi pendosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, mendirikan sholat, menunaikan zakat, bagi mereka adalah ganjaran disisi Rob mereka, tidak akan ada ketakutan pada mereka dan mereka tidak pula bersedih. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba jika memang kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melakukannya, maka terimalah pernyataan perang dari Allah dan rasul Nya dan jika kalian bertobat maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan tidak pula dizalimi. Dan jika ada yang berada kepayahan, maka berilah tempo hingga waktu yang lapang dan menyedekahkannya adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Dan takutlah dengan hari dimana kamu akan dikembalikan kepada Allah dan akan disempurnakan ganjaran setiap perbuatan yang diperbuat dan mereka tidaklah dianiaya.

B. MAKNA KATA. 12 Riba: secara bahasa berarti bertambah dan berkembang, sedangkan dalam terminologi syar’i berarti tambahan nilai dari modal yang diambil pemilik modal/debitor kepada peminjam/kreditor atas tempo yang diberikan3. Menurut Ibnu Arabi riba adalah sesuatu yang biasa dilakukan manusia Arab pada masa Jahiliyah, seseorang berjual beli dengan orang lain dalam tempo waktu tertentu, setelah datang temponya orang tersebut akan menagih ketika tagihan tidak bisa dilunasi maka orang tersebut akan melipatgandakan pokok hartanya4. Arti makan di sini adalah bermuamalah atau bertransaksi, disebutkan dengan kata makan karena pada umumnya kebanyakan tujuan kepemilikan harta adalah untuk dimakan5.

Maksudnya dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat nanti6. Hal ini juga seperti bacaan Abdullah bin Mas’ud yang menambahkan kata hari kiamat7 pada kalimat: Maksudnya berdiri tidak seimbang seperti orang gila8. Maksudnya peringatan untuk kebaikan9.

Yang dimaksud disini adalah larangan untuk meninggalkan riba10. Maksudnya Allah SWT akan mengurangi dan menghilangkan harta riba secara keseluruhan dari pemiliknya atau menghilangkan berkahnya sehingga tidak bermanfaat bahkan dan diberi hukuman di akhirat11. Kebalikan riba maka sedekah Allah SWT akan menambah, mengembangkan dan memperbanyak ganjaran dengan berlipat ganda di akhirat12. Maksudnya beritahukan13 maksudnya kepada orang lain. Menurut Nasafi bahwa kalimat ini lebih mengenai sasaran14. Maksudnya pokok harta15, yaitu yang bebas dari riba16. Maksudnya orang yang berhutang uang berada dalam kesulitan.

C. PERIODEISASI RIBA
Riba adalah kebiasaan yang telah membudaya di kalangan masyarakat Arab jauh sebelum larangan tentang ini berlaku. Budaya ini jelas tidak akan bisa langsung bisa hilang di kalangan masyarakat Arab saat itu. Allah SWT dalam pengharaman riba di dalam Al-Quran dilakukan dengan bertahap. Tahap demi tahap dalam pengharaman ini menuju kepada keadaan masyarakat saat itu yang memang telah terbiasa melakukan muamalah ribawiyah atau transaksi dengan dasar riba untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda.

Secara umum ada 4 periode turunnya ayat tentang riba, 1 ayat turun di kota Mekah yang berarti ayat tersebut adalah makiyah dan 3 ayat lainnya turun di kota Madinah yang berati ayat tersebut adalah madaniyah.

Ayat yang turun di Kota Mekkah adalah : Surah arRum 30

Pada ayat ini dijelaskan bahwasanya Allah SWT membenci riba dan perbuatan riba tersebut tidaklah mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Pada ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang mengatakan bahwasanya riba itu haram. Artinya bahwa ayat ini hanya berupa peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif17.

Periode kedua Allah SWT menurunkan ayat : - Surah anNisa' 160-161

Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat ini merupakan kisah tentang orang-orang Yahudi. Allah SWT mengharamkan kepada mereka riba akan tetapi mereka tetap mengerjakan perbuatan ini. Pengharaman riba pada ayat ini adalah pengharaman secara tersirat tidak dalam bentuk qoth’i/tegas, akan tetapi berupa kisah pelajaran dari orang-orang Yahudi yang telah diperintahkan kepada mereka untuk meninggalkan riba tetapi mereka mereka tetap melakukannya,18 hal ini juga dijelaskan al-Maroghi bahwasanya sebagian nabi-nabi mereka telah melarang melakukan perbuatan riba19.

Periode ketiga Allah SWT menurunkan ayat : Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. ali Imran 130

Ayat ini menjelaskan kebiasaan orang Arab saat itu yang sering mengambil riba dengan berlipat ganda. Ayat ini telah secara jelas mengharamkan perbuatan riba, akan tetapi bentuk pengharaman pada ayat ini masih bersifat sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang saat itu yang mengambil riba dengan berlipat ganda dari modal. Riba ini disebut dengan riba keji () yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari hutang yang berlipat ganda20.

Periode terakhir adalah periode pengharaman mutlak, yaitu ayat :

D. SEBAB-SEBAB TURUNNYA AYAT Ada beberapa riwayat tentang riba yang menjadi sebab-sebab turunnya ayat tentang riba, diantaranya : Riwayat dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Bani Amru bin Umair bin Auf bin Tsaqif. Adalah Bani Mughirah bin Makhzum mengambil riba dari Bani Amru bin Umair bin Auf bin Tsaqif, selanjutnya mereka melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah SAW dan beliau melarang mereka melalui ayat ini untuk mengambil riba.

21 Berkata ‘Atho dan ‘Ikrimah bahwasanya ayat ini diturunkan kepada Abbas bin Abdul Mutholib dan Utsman bin Affan. Adalah Rasulullah melarang keduanya untuk mengambil riba dari korma yang dipinjamkan dan Allah SWT menurunkan ayat ini kepada mereka, setelah mereka mendengar ayat ini mereka mengambil modal mereka saja tanpa mengambil ribanya. Berkata Sadi: Ayat ini diturunkan kepada Abbas dan Khalid bin Walid. Mereka melakukan kerjasama pada masa Jahiliyah. Mereka meminjamkan uang kepada orang-orang dari Bani Tsaqif. Ketika Islam datang mereka memiliki harta berlimpah yang berasal dari usaha riba, maka Allah menurunkan ayat : Maka Nabi SAW bersabda : Ketahuilah setiap riba dari riba jahiliyah telah dihapuskan dan riba pertama yang saya hapus adalah riba Abbas bin Abdul Muthollib.

E. MAKNA RIBA DAN PEMBAGIAN. Telah dijelaskan secara bahasa di atas bahwa riba secara bahasa berati bertambah dan berkembang. Abu Bakar Jabir al-Jazairy22 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan riba adalah : Artinya menambahkan sesuatu yang bersifat khusus dari harta.

Riba terbagi menjadi 2 yaitu : 1. Riba Fadhl 2. Riba Nasiah Yang pertama artinya adalah jual beli pada satu jenis barang yang menggunakan riba dengan cara jumlah yang berbeda di antara keduanya. Sedangkan yang kedua terbagi menjadi dua bagian juga, yang pertama adalah riba jahiliyah. Riba ini adalah riba seperti perilaku orang-orang jahiliyah dahulu, mereka memberikan hutang kepada orang lain untuk waktu berjangka, ketika jatuh temponya maka apabila si penghutang tidak sanggup membayar akan ditambahkan bunganya, selanjutnya ini bisa berlaku terus sampai jumlahnya berlipat ganda. Riba Nasiah yang kedua yaitu jual beli yang terdapat riba di dalamnya pada 2 jenis barang yang berbeda. Menurut Ibnu Rusd23 berdasarkan ijma ulama Pada dasarnya ada 6 pokok barang yang menjadi ushul ribawi, yaitu emas, perak, gandum, biji gandum, korma, dan garam. Dasar ini sebagaimana disebutkan oleh sebuah hadits dari Muslim yang dikutip oleh Ibnu Hajar24, yaitu : Di dalam Hadits ini menurut para Fuqoha Maliki25 bahwa antara al-bur dengan syair adalah satu, sehingga walaupun 7 yang disebut di dalam Hadits, tetapi 6 yang disebut sebagai ushul ribawi.

F. HUKUM RIBA Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah bahwa terdapat larangan untuk melakukan transaksi riba. Larangan yang paling jelas dari nash Al-Quran adalah: Ayat ini di dalam uslubnya adalah perintah, tetapi perintahnya adalah untuk meninggalkan. Di dalam ushul fiqih larangan terhadap sesuatu adalah berarti perintah untuk berhenti mengerjakan sesuatu tersebut. Dalam hal ini larangan untuk mengerjakan riba berarti perintah untuk berhenti mengerjakan riba. Hukum asal setiap larangan adalah untuk pengharaman26. Disamping ayat di atas pengharaman riba juga terdapat pada ayat yang turun sebelum ayat ini, yaitu: Di dalam Hadits bahkan ada beberapa orang yang terkait dengan orang yang bertransaksi riba ini akan mendapat laknat dari Allah SWT, yaitu: 27
Artinya: Dari Jabir r.a berkata: Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, orang yang mewakili riba, penulis riba, dan 2 orang yang menjadi saksi dari transaksi riba, beliau bersabda: mereka adalah sama.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa keharaman riba adalah jika dilakukan dengan berlipat ganda sebagaimana ayat di atas yang menyebutkan larangan untuk tidak memakan riba dengan berlipat ganda. Menjawab hal tersebut bahwa sesungguhnya lafadz adalah bukan menunjukkan bahwa larangan ini

berlaku hanya kepada riba yang diambil dengan berlipat ganda, akan tetapi ayat ini hanya menggambarkan bahwa keadaan ketika ayat tersebut diturunkan bahwa masyarakat Arab ketika itu benar-benar melakukan perbuatan tercela dengan mengambil riba yang berlipat ganda. Turunnya ayat ini adalah fase ketika dari turunnya larangan riba yang secara bertahap. Artinya larangan sampai fase yang ketiga ini hanya bersifat larangan terbatas (juz’i), akan tetapi selanjutnya setelah turun ayat untuk fase keempat secara jelas disebutkan bahwa riba itu secara keseluruhan adalah haram. Haramnya riba adalah baik untuk yang sedikit maupun untuk yang banyak, baik yang mengambil keuntungan dengan riba itu yang berlipat ganda maupun yang tidak berlipat ganda.

Seperti pengharaman khomar, bahwa khomar sedikit maupun banyaknya adalah haram, demikian juga dengan riba. Seperti khomar yang merupakan salah satu budaya dari masyarakat Arab ketika itu, ribapun termasuk bagian dari budaya masyarakat Arab yang sangat kuat, oleh karena itu Allah SWT dalam pengharaman riba menurunkannya secara bertahap sama seperti pengharaman khomar yang juga bertahap. Ada satu kaedah fiqh yang terkait dengan hukum riba, yaitu : 28

Artinya: jika sama bentuk kedua barang maka haram (riba fadl dan nasi’ah) dan jika berbeda bentuk kedua barang maka boleh lebih nilai satu dengan yang lain tetapi tetap haram riba nasiah. Dalam kaedah ini dijelaskan bahwa ushul ribawyah yang sama haram untuk berbeda, antara gandum dengan gandum haram untuk ditukar dalam jumlah yang berbeda. Selanjutnya apakah transaksi ribawi akan merusak akad/ perjanjian jual-beli? Berdasarkan kaedah ushul fiqih terdapat perbedaan di kalangan ulama, yaitu:

1. Bahwasanya larangan terhadap perkara muamalah akan menyebabkan rusaknya aqad muamalah tersebut. Artinya akad jual

beli bisa batal ketika jual beli tersebut menggunakan transaksi riba di dalamnya.
2. Bahwasanya larangan terhadap perkara muamalah tidak akan menyebabkan rusaknya akad muamalah tersebut. Artinya akad jual beli tidak batal tetapi jual beli tersebut sah, hanya saja hukum akadnya menjadi makruh. 29
Di dalam perkembangannya bahwa riba terdapat dalam banyak bentuk. Salah satu bentuk riba adalah bunga bank. Mengapa bunga bank haram? Karena terdapat unsur riba jahiliyah di dalamnya. Pengertian riba sangat dikenal dekat di masyarakat Arab sebagai riba nasi’ah. Biasanya orang yang memberi hutang ketika jatuh tempo/waktu pembayaran akan mengatakan kepada orang yang berhutang , artinya hendak engkau lunasi hutangmu atau bertambah hutangmu? bertambah di sini adalah berlipat bunga hutang tersebut. Di dalam sistem bunga disamping bunga yang telah dihitung, ketika jatuh tempo dan belum dibayar maka secara otomatis denda akan dikenakan yang akan semakin menambah hutang nasabah. Riba nasi’ah pada dasarnya adalah riba tempo, yaitu ketika seseorang berhutang dalam waktu berjangka yang telah ditetapkan maka ia dikenakan tambahan berdasarkan persentase bunga dari sisa pokok hutangnya. Selanjutnya banyak pertanyaan yang sebenarnya adalah ulangan yang ditanyakan orang-orang jahiliyah dahulu yang menyebutkan bahwa riba adalah sama atau identik dengan jual beli. Bahkan banyak juga pertanyaan-pertanyaan kritis bahwa bank Islam atau Bank Syariah tidak lebih hanya sama dengan bank-bank konvensional. Untuk menjawab hal ini penulis mengutip pendapat Prof. A. Mannan yang menyebutkan beberapa perbedaan antara perdagangan/jual beli bebas bunga dan jual beli berbunga :

1. Pengambilan resikolah yang membedakan antara jual beli dan bunga. Bagi perdagangan normal resiko adalah dasar yang diperkenankan Islam, sedangkan bunga tetap dan tidak turun naik seperti laba.
2. Bila modal yang diinvestasikan dalam perdagangan menghasilkan laba, ia merupakan hasil inisiatif, usaha, dan efesiensi, yang tidak terdapat pada bunga, yang hanya tahu untuk tanpa usaha.
3. Perdagangan adalah produktif dan akan mendapatkan manfaat sesudah bekerja, mengalami kesulitan dan berketerampilan, maka seseorang membuka lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Adapun bunga terbukti hanya meningkatkan krisis dan riskan terhadap resiko gejolak moneter.
4. Perdagangan salah satu faktor dominan dalam proses pembangunan peradaban, sedangkan bunga menciptakan kelemahan, dengan mementingkan keuntungan diri sendiri30.

G. TAUBAT RIBA Menurut Qurtubi31 jalan untuk taubat bagi pelaku riba adalah :
1. Jika barang riba tersebut berada di tangan pelaku riba dan ia sanggup untuk mengembalikannya maka hendaklah ia mengembalikannya dan hanya mengambil pokok harta miliknya.

2. Jika pelaku tidak tahu dan tidak bisa (putus asa) untuk menemukan nasabah ribanya, maka hendaknya barang hasil riba tersebut ia sedekahkan.

3. Jika barang riba itu didapat dengan cara zalim, maka hendaknya pelaku harus bersedia mengembalikan dan meminta ampun atas kezalimannya tersebut.

4. Jika si pelaku riba memiliki keraguan terhadap kadar barang hasil ribanya, maka hendaklah ia mengira-ngira berapa jumlah barang riba yang diambilnya sampai ia menjadi yakin bahwa brang yang tersisa adalah barang halal bukan berasal dari hasil riba.

5. Jika kezaliman riba tersebut sudah terlalu banyak yang dilakukan sehingga sampai kapanpun menurut perkiraannya bahwa ia tidak sanggup untuk mengembalikannya maka hendaklah ia bertobat

kepada Allah SWT, dan tetap sisa barang yang hasil riba ia sedekahkan kepada kepentingan umat Islam, sampai yang tersisa baginya hanya kebutuhan pokok bagi kehidupannya sehari-hari.

H. HIKMAH PENGHARAMAN RIBA

1. Hikmah larangan riba bagi pribadi adalah menghilangkan sifat egois, yaitu ingin mementingkan keuntungan pribadi yang berlipat ganda sedang orang lain bertambah menderita akibat tanggungan yang terus membengkak dari riba tersebut.

2. Bagi masyarakat riba ini akan menimbulkan perasaan saling benci dan memusuhi akibat riba ini. Tidak jarang putus silaturrahmi antara orang yang bertransaksi dengan riba ini, karena sifatnya yang terus bertambah dan membebani si nasabah sehingga sulit untuk keluar dari jeratan riba ini.

3. Dari segi ekonomi riba akan semakin memperlebar jarak antara si kaya dengan si miskin. Pengentasan kemiskinan akan semakin sulit, apalagi dengan sistem bunga efektif. Pembayaran berjangka 10 tahun ketika dilunasi 1 tahun, pokoknya masih akan besar, bahkan tidak mengurangi kecuali 1 sampai 5% dari pokok yang ada.

4. Kebalikan dari riba ini adalah sedekah. Sedekah pada dasarnya adalah penguragan harta untuk orang lain, akan tetapi Allah SWT memuji dan berjanji akan melipatkan gandakan sedekah ini sedangkan riba pada dasarnya adalah penambahan akan tetapi Allah SWT akan mengurangi dan menghilangkan berkatnya32.


Endnotes : 1 Said Abu Jaib al-Qamus al-Fiqhiyah. (Beirut: Dar al-Fikr. 1998) hal. 142. Lihat juga Ibnu Arabi. Ahkam al-Quran.Jilid1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.320. 2 Ibnu al-Manzhur. Lisan al-Arab.Jild. 14 (Beirut: Dar al-Fikr. 1990) hal. 304. Lihat juga Majma al-Lughoh al-Arabiyah. Al-Mu’jam al-Wasith. Jilid.1 ( Arab Saudi: al-Dar al-Handasah. 1985) hal. 338 3 Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal. 383 4 Ibnu Arabi. Ibid. 5 Al-Baghwi. Ma’alim Tanzil fi al-Tafsir wa al-Takwil. (Bairut: Dar el-Fikr. Juz.1. 1989) hal. 397. Lihat juga an-Nisabury. Tafsir Ghoroib al-Quran wa Roghoib al-Furqon. Jilid. 2 ( Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1996 ) hal 60. 6 Ibid. Lihat juga Sayyidi Abdurrahman. Al-Jawahir Al-Hisan fi Tafsir al-Quran. (Libanon. Dar al-Kutub al_ilmiyah. Juz.1) hal. 216. 7 Ibnu Katsir. Al-Quran al-Azhim. Jilid. 1 (Beirut: Dar al-Fikr.) hal. 275. Lihat juga Sayidi Abdurrahman. al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Quran. Juz.1 (Libanon. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Bairut) hal. 216. 8 Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal. 383. 9 Ibid. 10 Ibnu Katsir. Ibid. hal. 275. 11 Muhammad Ali as-Shobuni. Ibid. 12 Ibid. hal. 384. 13 Suyuti dan Muhalli Tafsir Jalalain.(Damaskus.Dar al-Jail) hal.275. 14 an-Nasafi. Madarik al-Tanzil wa Haqoik al-Takwil. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hal. 154. 15 Ibid. 16 Muhammad Hasan al-Himshi. Al-Quran, Mufrodat, Tafsir wa Bayan (Beirut: Dar al-Rasyid) hal. 47. 17 Muhammad Ali as-Shobuni. Ibid. hal. 390. 18 Ibid. 19 Ahmad Musthofa al-Maroghi. Tafsir al-Maroghi.Jilid.2. Juz. 6 (Beirut: Dar al-Fikr) hal. 18 20 Muhammad Ali as-Shobuni. Ibid. 21 An-Nisabury. Asbab an-Nuzul. (Beirut: Dar al-Fikr) hal. 58-59. 22 Abu Bakar Jabir al-Jazairy. Minhaj al-Muslim ( Beirut : Dar al-Fikr) hal. 368-369. 23 Ibnu Rusd. Bidayah al-Mujtahid. (Beirut: Dar- al-Fikr) hal.96. Hal senada juga disebut Ibnu Qudamah dalam bukunya al-Kafi fi Fiqhi Imam Ahmad.(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hal. 31.

24 Ibnu Hajar. Bulugh al-Maram. (Semarang: Toha Putra) hal.170. 25 Qurtubi.Ibid. hal. 226. 26 Muhammad Hudri Bik. UshuL Fiqh. (Beirut: Dar al-Fikr. 1988) hal.199. 27 Ibnu Hajar. Ibid. hal.169. 28 Muhammad Ali as-Shobuni. Ibid. hal. 392. 29 Muhamad Abu Zahroh. Ushul Fiqih ( Beirut: Dar-al-Fikr) hal. 182-183. 30 M.A Mannan. Ekonomi Islam: Teori dan Praktek. Alih bahasa: Potan Arif Harahap ( Jakarta: PT Intermasa. 1992) hal. 295-296. 31 Imam Qurtubi. Al-Jami, li Ahkam al-Quran. Jilid 2 (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) hal. 328. 32 Muhammad Ali as-Shobuni. Ibd. 394-395
Amrul Muzan, Dosen Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru. Alumni Program Pascasarjana (S2) UIN Sultan Syarif Kasim Riau (2005).

Tulisan berikut tidak akan membahas kehalalan atau keharaman riba, karena keharamannya telah disepakati oleh setiap Muslim berdasarkan ayat-ayat Al-Quran serta ijma’ seluruh ulama Islam, apa pun mazhab atau alirannya. Yang dibahas adalah apa yang di maksud sesungguhnya oleh Al-Quran dengan riba yang diharamkannya itu?
Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.
Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktikalnya transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi.
Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai ‘Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini.164 Beliau berkata: “Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu.”165
Keraguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan ‘Umar r.a., “meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal”.166
Sebelum membuka lembaran-lembaran Al-Quran yang ayat-ayatnya berbicara tentang riba, terlebih dahulu akan dikemukakan selayang pandang tentang kehidupan ekonomi masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.
Sejarah menjelaskan bahwa Tha’if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha’if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktikal riba, sehingga keadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktik tersebut.
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal praktikal riba. Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktikkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut. Dan terbukti pula dengan kehairanan kaum musyrik terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS 2:275). Dalam erti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.
Riba yang Dimaksud Al-Quran
Kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Sehingga bila kita hanya berhenti kepada arti “kelebihan” tersebut, logika yang dikemukakan kaum musyrik di atas cukup beralasan. Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan mereka dengan menyatakan “Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS 2:275), pengharaman dan penghalalan tersebut tentunya tidak dilakukan tanpa adanya “sesuatu” yang membedakannya, dan “sesuatu” itulah yang menjadi penyebab keharamannya.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali ‘Imran, Al-Nisa’, dan Al-Rum. Tiga surat pertama adalah “Madaniyyah” (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum adalah “Makiyyah” (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pads harts manusia, maka riba itu tidak menambah pads sisi Allah …
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba,167 yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman.
Selanjutnya Al-Zanjani,168 berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa’i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali ‘Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa’. Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali ‘Imran yang secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161 Al-Nisa’ yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan Al-Quran tentang riba.
Menurut Al-Maraghi169 dan Al-Shabuni,170 tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (Al-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Al-Nisa’: 161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali ‘Imran: 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya (Al-Baqarah: 278).
Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas, kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa mustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangan tersebut, kita cenderung untuk hanya menetapkan dan membahas ayat pertama dan terakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan kedua ayat yang tidak jelas kedudukan tahapan turunnya sebagai tahapan pertengahan.
Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam memahami pengertian atau esensi riba yang diharamkan Al-Quran, karena sebagaimana dikemukakan di atas, ayat Al-Nisa’ 161 merupakan kecaman kepada orang-orang Yahudi yang melakukan praktek-praktek riba. Berbeda halnya dengan ayat 130 surat Ali ‘Imran yang menggunakan redaksi larangan secara tegas terhadap orang-orang Mukmin agar tidak melakukan praktek riba secara adh’afan mudha’afah. Ayat Ali ‘Imran ini, baik dijadikan ayat tahapan kedua maupun tahapan ketiga, jelas sekali mendahului turunnya ayat Al-Baqarah ayat 278, serta dalam saat yang sama turun setelah turunnya ayat Al-Rum 39.
Di sisi lain, ayat Al-Rum 39 yang merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama Tafsir tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-Qurthubi171 dan Ibn Al-’Arabi172 menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibn Katsir menamainya riba mubah.173 Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu ‘Abbas dan beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai “hadiah” yang dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih.
Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat Al-Rum di atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan174 menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf, yakni kata riba pada surat Al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw [huruf Arab], dan dalam surat-surat lainnya menggunakannya [huruf Arab]. Dari sini, Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang diharamkan dalam Al-Quran bermula dari ayat Ali’ Imran 131.175
Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang riba yang diharamkan Al-Quran dapat dikemukakan dengan menganalisis kandungan ayat-ayat Ali ‘Imran 130 dan Al-Baqarah 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh’afan mudha’afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru’usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun.
Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan Al-Quran. Dengan kata lain, “apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut haram”.
http://www.zaharuddin.net/content/view/75/93/


http://latifabdul.multiply.com/journal/item/305/BANK2_KONVENSIONAL_ITU_BUKANLAH_RIBASESUAI_DENGAN_WAHYU_ALLAH.

Dalam Al Quran dalam ada 4 ayat ALLAH tentang Riba;

1).Orang orang yang memakan Riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata; sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang orang yang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya ,lalu terus berhenti dari mengambil riba maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan dan urusannnya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi mengambil riba maka orang itu adalah penghuni penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.QS 2;275.

2).Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.QS.3:130.

(Bunga yang diberikan olehsi peminjam BERLIPAT GANDA, keterlaluan, mencekik si peminjam yang terdesak, riba yang beginilah yang diharamkan oleh ALLAH swt)

3). Allah memusnakhan riba dan menyuburkan sedekah Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.QS.2;276.

3). Hai orang orang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut jika kamu orang orang yangberiman QS2;278.

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ (٢٧٨)

4). Maka jika kamu tidak mengerjakan, makaketahuilah bahwa Allah dan Rasulullah saw akan memerangi. Dan jika kamu bertaubat dari pengambilan Riba maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya.QS2;279.



فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٍ۬ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ‌ۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَڪُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٲلِڪُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ (٢٧٩)

5). Dan jika (orang orang berutang itu) dalam kesukaran maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebahagian atau semuanya itu,lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.QS.2;280.

وَإِن كَانَ ذُو عُسۡرَةٍ۬ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيۡسَرَةٍ۬‌ۚ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيۡرٌ۬ لَّڪُمۡ‌ۖ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ (٢٨٠)

Kenapa Allah mengharamkan riba; Karena Allah Maha Tahu segala galanya, apa yang baik dan merugi kepada manusia sebagai pekerja2Nya.

Misalnya; diharamkan berzina karena akan merusak keluarga dan masarakat, terutama wanita2. Haram mimumalcohol karena akan memabukan orang sehingga otaknya menjadi lemah, tidak sadar, maka hidup dalam mabuk sangat merugikan diri sendiri dan berbahaya. Jelas sekali apa yang dilarang oleh Allah pasti akan merusak dan merugi. Sesuai dengan ilmu kesehatan dll.

Pratek riba zaman nya Rasulullah saw dilakukan secara individu oleh orang orang Jahiliyah yang kasar, tamak dengan uang, egois, sehingga dapat merugikan kepada orang yang meminjam uang Pada waktu itu belum ada institute yang berbentuk Bank seperti sekarang ini. Bank yang sekarang ini adalah produk non Islam.

Contohnya;
Dalam masarakat kita ada pratek2 ini dilakukan yang bernama sistem Ejau yang dilakukan oleh petani2 yang menunggu panennya;

Seseorang yang mempunyai uang meminjamkan uang kepada seorang karena perlu uang yang mendesak sekali,untuk berobat, untuk pernikahan,dll. sebesar Rp.100.000,-dengan catatan sipeminjam harus mengembalikan uang dengan tambahan sebesar Rp.125.000,- kalau tidak bisa mengembalikan dalam waktu tertentu akan didenda Rp.50.000 perbulan. Dendanya sangat besar dan memberatkan, tapi karena terpaksa, dipinjamkan juga.

Sekiranya sipeminjam tidak juga dapat mengembalikan uangnya beserta bunga berbunga maka yang akan terjadi pada zaman Rasulullah saw; sipeminjam uang terpaksa menyerahkan anak perempuan, atau ladang pertanian atau tanah milik sendiri dan disita dsb.

Cara cara ini benar benar sangat merugikan  kepada sipeminjam dan masarakat. Yang pemilik uang sangat diuntungkan sekali tanpa ada kasih sayang. Oleh sebab itulah Riba sangat diharamkan sekali.

Pratek2 peminjaman uang seperti diatas ini masih terjadi dan sangat menyedihkan tertutama di kampung kampung dengan nama lain; lintah darat, sitem hijau dll.

Orang berduit menggunakan kesempatan dalam kesempitan untuk mendapatkan untuk yang berlebih besar dan tidak pantas. Inilah riba yang dimaksud oleh Al quran yang dapat merugikan umat yang dalam kesusahan.

Sedangkan Allah memperingatkan kepada si peminjam QS 2;280; kalau sekiranya si peminjam tidak sempat mengembalikan uangnya dalam waktu tertentu maka berilah ia waktu sampai ada kelapangan inilah sifat yang mulia yang disenangi oleh Allah swt. inilah peraturan Allah yang cantik dan indah bukan?

Jadi turunnya ayat riba itu sewaktu keadaan masarakat orang kaya jahilillah di Arab yang sangat tidak menguntungkan kepada masarakat banyak.

Mereka mempunyai sifat2; egois, tidak mempunyai  rasa kasih sayang, mencari keuntungan dalam kesusahan orang lain, kasar karena tanah Arab yang tandus, panas, sehingga masarakatnyapun keras dan kasar.

Sungguh bijaksana Allah menurunkan Rasulullah saw di tanah Arab, kalau bukanlah turun wahyu2 Allah dan bukan pula Rasulullah orang Arab, kita dapat bayangkan bagaimana bentuk masarakat yang berada di padang pasir yang keras,panas.

Dan kalau kita analisa dan kita lihat pratek2 yang dilakukan oleh para peminjam2 uang secara individu memang sangat merugikan umat,  tidak ada  perlindungan hukum  untuk yang lemah.

Tapi bagaimana Bank Konventional yang dirancang begitu baik oleh para ahli2 ekonomi dan perbankan Barat danJapan dapat menompang pembanguan sebuah negara dan terbukti negara2 non Islam sukses ekonominya dan makmur rakyatnya.

Fakta ini tidak bisa dimungkiri.Lihatlah Japan, Amerika, Singapore, Amerika, dan negara2 Eropah. Ekonomi mereka semua maju dengan memakai sistem konvensional.

Saya melihat apa yang dimaksud Riba dalam al Quran bukanlah sama dengan yang dipratekan oleh Bank2 konventioanal di luar negeri yang mana bunganya sangat kecil dan sangat membantu pengusaha2 kecil berkembang.

Bunga Bank di Japan sekarang ini antara 0-2% pertahun, di Amerika 1-6% pertahun kalau meminjam. Tapi Kalau mendepositokan uang dengan bunga 0%-1%. Kecil sekali bukan.

Cara Bank Konventional di luar negeri tidak termasuk Riba yang merugikan orang. Malah menguntungkan sipeminjam dan sipemberi yaitu Bank. Sipemilik uang menjadi rajin untuk berdagang dari pada mendepositokan uangnya ke Bank dengan bunga yang kecil.

Bagi sipeminjam bunga yang kecil sangat bermanfaat untuk mengembangkan usaha2nya agar lapangan kerja bertambah.

Jadi apa yang dikewatirkan oleh sebahagian ahli2 agama di Indonesia dimana bunga Bank di Indonesia sangat tinggi dari 10-25% kalau meminjam, ini sangat mencekik pengusaha kecil, dan memberikan keuntungan kepada pengusaha2 besar saja.

Bunga yang tinggi dan mencekik boleh dikatagorikan riba. Sipemilik uang yang mendepositokan uangnya malas bekerja, tapi masih bermanfaat oleh Bank,karena ia bisa memutarkan uang itu. 

Dan bagi Bank sendiri dengan bunga yang besar diberikannya, mempunyai resiko yang tinggi. Oleh sebab itulah di luar negeri tidak ada bunga yang sebesar di Indonesia.

Sekiranya Bank pemerintah tidak mengambil keuntungan dari uang yang dipinjam dari luar negeri, hanya ingin membantu Bank2 swasta dengan meminjamkan uang dengan bunga 2%, maka Bank swasta akan memberikan bunga kepada pengusaha2 4-6 %, saya kira Bank2 Konventional ini bermanfaat untuk memajukan usaha masarakat.

Setiap perbuatan yang baik dan bermanfaat Allah tidak melarangnya, Allah suka setiap perbuatan yang bermanfaat. Bank Konventional tidak termasuk sistem riba yang merugikan kedua belah pihak.

Kenapa demikian? Kelihatan sekali kalau bunga Bank kecil seperti diluar negeri 0-6% setahun maka orang orang yang mempunyai uang lebih baik berdagang dari pada menyimpan uang di Bank yang bunganya kecil sekali,artinya system ini mendorong orang berker rajin,tidak malas. 

Bagi Bank sendiri mendorong pengusaha2 dan pedagang2 kecil untuk meminjam uang bank dengan bunga yang kecil, artinya Bank mendorong pengusaha2 bisa maju dan sukses.

Indah dan cantik sistem ini, oleh sebab itulah negara2 non Islam maju karena sistem perbanknya baik,bunganya kecil dan lancar. Sebab sesuatu yang baik dan bermanfaat datang dari Allah.  Dan sesuatu yang tidak baik dan merugi kepada masarakat itu datangnya dari setan atau nafsu.

Kesimpulan;
  1. Bank Konventional akan dikatagorikan bank riba, sekiranya Bank memberikan bunga yang tinggi dan ini merusak masarakat pengusaha yang akhirnya kepada masarakat umum.
  2. Bank Konventional yang memberikan bunga yang kecil, rendah seperti diluar negeri, maka bank itu tidak merugikan umat, malah memberikan manfaat yang banyak. Jadi tidak termasuk sistem yang akan merugikan pihak lain.( apa saja namanya kalau merugikan seseorang sistem itu adalah haram)
  3. Yang perlu diperbaiki oleh Bank2 konvensional di Indonesia agar tidak termasuk katagori riba, merugikan orang banyak maka berikanlah bunga yang rendah sebagaimana diluar negeri. Kalau tidak demikian maka Bank Konventional diangggap Riba.
  4. Orang orang yang berada di luar negeri, yang memakai Bank Konventional tidaklah riba. Karena apa yang kita lakukan tidak akan merugikan kedua belah pihak.Malah menguntungkan kedua belah pihak.
  5. Orang2 yang ingin meminjam uang untuk keperluan BUKAN untuk berdagang, tapi kepertluan mendesak, maka haram memberikan bunga atau interest( ini peminjam2 individu2,bukan lewat bank). Tapi kalau pinjaman uang itu digunakan untuk berniaga,mencari untung,maka dibolehkan memberikan bunga.Sesuai dengan perintah ALLAH di Taurat.
  6. Saya menganjurkan dalam berlomba lomba berbuat kebaikan, janganlah mengharamkan dan mengkafirkan orang lain dan pihak lain didepan umum, suatu tidakan yang kurang arif dan bijaksana, ini dampaknya besar sekali kepada umat non islam, mereka juga akan berbuat yang sama atau lebih dahsat. Yang bijaksana adalah dirikanlah Bank2 Syariat islam dan berlomba lombalah memberikan service layanan yang baik, dan menguntungkan kepada pelangganan2nya. Kalau service nya baik pasti orang akan tertarik dengan sendirinya. Tidak perlu menjelekan Bank2 non Islami.  Tidak perlu memakai kekuatan Fatwa MUI. Dalam perlombaan yaa sebagai umat islam kita menginginkan Bank islam yang menang dalam masarakat, tapi kita mau menang dengan sportif, action yang indah dan cantik.  Inilah cara yang diperintahkan oleh Rasulullah saw dan Allah seperti ayat2 diatas tadi. Siapa yang berbuat lebih baik, dijamin oleh Allah akan sukses dan barakah.
Demikianlah, mudah2an ada manfaatnya bagi kita semua di tanah air yang sedang mencari cari kebenaran dan ingin sukses.

Tapi janganlah saling cakar mencakar,lapangkan dada, dinginkan kepala, sabar, Allah bersama orang yang sabar. Kebenaran adalah milik Allah semata. 

Kalau ada kesalahan dalam pemahaman itu mohon diberikan koreksi sangat di hargai sekali.

Menuju masarakat yang bermanfaat didunia berarti di akhirat.

Wassalamu’alaikum wr wb




2 comments:

Anonymous said...

syukran........

Anonymous said...

maaf tetapi saya berpandangan walaupun 1-2% masih juga riba. upah bg pengurusan mungkin bisa diambil tetapi (wallahu'alam) bukan dalam bentuk bunga seperti sistem kita sekarang ini. riba ialah ujian Allah buat umat akhir zaman, di mana benar-benar sedikit yang berjaya mengatasinya. riba ini juga kemungkinan adalah salah satu fitnah daripada Dajjal yang kita tidak sedar setelah sekian lama.

riba ini dosanya teramat besar, jadi marilah kita sama sama lebih berhati-hati dalam hal ini.

Post a Comment

Sila beri pandangan anda, elakkan dari kata nista atau kata-kata di luar peradaban. Pandangan Tulus dari anda amat dihargai, terima kasih.

 
Copyright 2009 abatasa ii. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan